Film bergenre drama ini dibuka dengan rauangan sinso mesin pemotong kayu di hutan pedalaman Sumatera Utara. Raungan itu menciutkan nyali hewan penghuni, mengkuncupkan kembang yang mekar serta mengirimkan air bah ke kampung-kampung pinggir hutan. Pertanda aneh dikirimkan zaman, matahari meneteskan hujan sementara awan mengguyur panas. Gemerlap berlian dari kayu gelondongan mengirimkan pesan ke hilir sungai; keadilan bisa diperjualbelikan.
Tokoh utama dalam film ini bernama Adel. Selain itu juga ada jaksa, hakim, polisi serta orang-orang upahan penebang hutan. Pada beberapa plot juga muncul menteri Kehutanan, Kapolri dan tentu saja Jaksa Agung. Ini bukan sesuatu yang fenomenal sebab sudah sedemikian banyak drama di negeri ini yang melibatkan elit-elit bersangkutan. Mereka sangat enjoy dengan peran protagonis dan antanogis yang dimainkan. Lagipula toh drama itu menjadi bagian dari keseharian mereka.
Adel, pria ramah berkacamata tipis ini mewarisi usaha keluarganya dalam merambah hutan. Pekerjaan yang mulia tentunya, merambah hutan membuka peradaban dan membinasakan keliaran. Lebih mulia lagi karena pekerjaan ini jelas membuka lahan pekerjaan untuk penduduk sekitar hutan. Inilah jenis profesi yang benar-benar bersentuhan dengan alam. Mempermak hutan, membuka jalan lalu mengupah sungai untuk mengirimkannya ke hilir. Kelak kayu-kayu itu akan meyempurnakan peradaban manusia dengan produk mebel, kusen pintu atau hanya pajangan. Merambah hutan, menebang kayu adalah upaya melestarikan peradaban manusia dalam pertukangan.
Karena kemuliaan itu, Adel merasa bingung ketika polisi mencarinya. Panik, ia coba mencari kearifan filosofi hingga Beijing. Tetapi polisi tidak menyerah ia ditangkap di negeri Mao Ze Dong itu, diseret kembali ke Indonesia. Tetapi untunglah ada juga yang peduli dengan kemuliaan yang ia lakukan, menteri kehutanan bilang ia adalah jenis penebang yang punya izin. Adel dihadapkan pada persidangan, Hakim membebaskannya. Satu hari berselang, polisi mencari Adel lagi. Kali ini tuduhannya tidak main-main, ia diduga terlibat pencucian uang. Adel kabur, ia masuk List buron.
Sutradara film ini tipikal profesional yang mengerti betul psikologis penonton Indonesia. Untuk membuat jantung deg-degan, ia kasih jeda waktu pembebasan waktu Adel dengan pengumuman polisi sehingga ada ruang waktu dimana Adel bisa kabur. Untuk menyemarakkan film, ia putar slot gambar keriuhan elit di Jakarta. Masing-masing orang bersuara menanggapi pembebasan itu. Tetapi sebenarnya siapa yang peduli dengan bebasnya Adel? Sebenarnya sih tidak ada, hanya keriuhan….
Semua orang riuh menyuarakan serahkan semuanya pada mekanisme hukum. Adel dan pemirsa yang objektif tentu saja bingung. Mekanisme hukum yang mana, ah maksudnya sistem hukum dengan setoran uang berapa? Sekarang ini, para hakim dan jaksa tidak mau ketinggalan dari pengacara. Masing mereka juga memasang tarif untuk berat ringannya tuntutan dan putusan. Dan mereka lebih kejam dari pengacara, kurang satu rupiah saja, penjara tanggungannya.
Ending dari film ini, Adel menghilang lalu masuk dalam List. Penonton pun bingung. Jubah hitam hakim berkibar menutupi mata hati keadilan. Gedung-gedung pengadilan telah menjadi sumber malapetaka. Sementara orang berdebat tentang dasar hukum, gergaji terus menggunduli hutan, menyisakan secuil pepohonan tempat berteduh para penebang. Ini akan terus berulang sebab kuasa Tuhan berakhir di tangga pengadilan.
Adel in List dalam pelarian. Tetapi ia aman sebab berada di bawah lindungan Ka’ban.